Saturday, June 15, 2013

HUBUNGAN ANTARA SEBELUM DAN SETELAH MENGIKUTI SENAM ASMA DENGAN FREKUENSI KEKAMBUHAN PENYAKIT ASMA

Oleh : Murgi Handari



ABSTRACT
Background: Asthma is respiratory disease, it is not very complex but also multifarious which is usually related to the characteristic of the gene and the environment. Asthma is the main factor in increasing the absence and decreasing productivity so it influences the growth of the sufferes as welfare the social level of the family. Asthma sufferers or asthmatic persons will have respiratory problems and malfunctional abilities, the daily activities, productive activity and recreation. Respiratory problems usually can be cured, but the posture of asthmatic persons will change and then is spasm of the respiratory muscle, will cause the wrong system of respiration. This situation will tend to panic the sufferer whenever the asthma attacks. This can be solued by having medical rehabilitation,teraphi exercise which is usually called asthma gymnastic (pre and post) and the frequency of relaps from asthma. Methods: This research uses observational methode and the cross sectional approach. The population are Semarang Hospital patients in the year 2003 and there are 80 persons or sample. This sample was taken using accidental random sumpling, who joined the gymnastic and those who clid not also. The dates werw taken by interviewing the respondens. Result:The chi-square test showed that there is a closed relationship between the asthma gymnastic (pre and post) and the frequency of asthma relaps (p=0,001), with contingency coefficient is 0,648. for the analiyst treatment to convince this t-test in significant level is 5%, the result of the showed that there a closed relationship between the asthma gymnastic and the frequency of asthma relaps(p=0,001). This means that the relationship between the regularity of gymnastic and the frequency of asthma relaps, the chi-square tset showed that there is a closed relationship between the asthma gymnastic and the frequency of asthma elaps(p=0,037), with contingency coefficient is low(0,376). Keywords : asthmatic exercise, frequency of attack
  
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Serangan asma masih merupakan penyebab utama tidak masuk sekolah pada anak, sehingga berakibat menurunnya prestasi belajar. Masa yang seharusnya masa bersuka ria dan bermain,namun sering tidak dapat dinikmati dengan baik,bahkan sebagian dari mereka harus tinggal di rumah sakit. Asma pada orang dewasa membawa masalah tersendiri, yaitu pada ibu rumah tangga menyebabkan tidak dapat melakukan tugas/perannya dengan baik, sedang pada pekerja dapat meningkatkan angka absensi sehingga berakibat menurunnya produktivitas. Hal tersebut berdampak pada gangguan pertumbuhan fisik atau gangguan tumbuh kembang terutama pada anak dan dapat menurunkan tingkat social ekonomi pada rumah tangga. Penyempitan saluran nafas umumnya dapat diobati, akan tetapi postur tubuh yang berubah,otot-otot pernafasan yang menegang,pola bernafas yang salah serta kecenderungan untuk panik saat serangan datang hanya dapat diatasi dengan rehabilitasi medik berupa terapi latihan (therapeutic exer). Untuk mendapatkan manfaat optimal dari latihan pada penyandang asma,maka latihan fisikyang diberikan harus mudah dilaksanakan tanpa menimbulkan efek samping. Terapi latihan untuk penyandang asma tersebut dirangkai dalam satu paket senam yang dikenal dengan senam asma. Selama ini masih terdapat keraguan dalam masyarakat mengenai latihan fisik (kegiatan jasmani) bagi penyandang asma sebab latihan fisik atau kegitan jasmani kadang justru dapat mencetuskan serangan asma yang dikenal dengan istilah Exercise Induced Asthma(EIA). Meskipun latihan fisik/kegiatan jasmani dapat menimbulkan serangan asma, hal ini tidak boleh menjadi penghalang bagi penderita asma untuk tetap melakukan latihan fisik/ kegiatan jasmani. Untuk itu perlu masukan dan bahkan perubahan persepsi bagi masyarakat luas dan bagi penyandang asma itu sendiri bahwa peranan latihan fisik/kegiatan jasmani bagi penyandang asma juga penting artinya. Senam asma juga berguna untuk mempertahankan dan atau memulihkan kesehatan. Senam asma yang dilakukan secara teratur akan menaikkan volume oksigen maksimal, selain itu dapat memperkuat otot-otot pernafasan sehingga daya kerja otot jantung dan otot lainnya jadi lebih baik.

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara sebelum dan setelah mengikuti senam asma dengan frekuensi kekambuhan penyakit asma.

METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan termasuk penelitian observasional yang bersifat analitik. Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional, dimana data dari variabel-variabel yang diteliti diambil dalam waktu yang bersamaan.

Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah pasien asma rawat jalan di RSUD Kota Semarang pada tahun 2004 sebanyak 385 orang.  

Teknik Pengumpulan Data
Alat yang digunakan untuk mengumpul data yaitu kuesioner. Sedangkan sumber data menggunakan dua data yaitu : Data Primer, yang diperoleh melalui hasil wawancara langsung pada responden dan dengan menggunakan kuesioner meliputi: umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, frekuensi kambuh penyakit asma dan lain-lain; dan data sekunder, yang diperoleh dari rekam medik RSUD Kota Semarang, serta studi dokumentasi di beberapa laporan dan buku yang terkait dengan penelitian ini.

Teknik Analisa Data
Sebelum dilakukan pengolahan data terlebih dahulu dilakukan proses pengolahan data : editing, koding, entry data, dan tabulasi data.Teknik analisa data yang dilaksanakan ada dua yaitu : Pertama. Deskriptif, yang dilakukan untuk mendiskripsikan setiap variabel penelitian dengan cara membuat table distribusi frekuensi. Kedua. Analitik, yang dilakukan untuk mengetahui hubungan antara senam asma dengan frekuensi kekambuhan penyakit asma digunakakan uji statistik chi square (2 ). Sedangkan untuk mengetahui tingkat keeratan hubungan antara senam asma dengan frekuensi kekambuhan penyakit asma dipergunakan rumus koefisien kontingensi (C ).

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Faktor pencetus penyakit asma pada responden kebanyakan disebabkan asap, baik asap rokok maupun dari limbah(sampah). Sebelum responden mengikuti senam asma frekuensi kambuh kebanyakan 3 – 4 kali/bulan, sedang pemakaian obat responden sebelum mengikuti senam asma kebanyakan 3-4 kali per bulan. Setelah mengikuti senam asma kebanyakan frekuensi kambuh responden terbanyak antara 1 – 2 kali/bulan dan pemakaian obat antara 1 – 2 kali/bulan (tabel 1). Sebelum mengikuti senam asma kebanyakan responden frekuensi kambuhnya lebih dari empat kali per bulan, sedang setelah mengikuti senam asma kebanyakan responden mengalami kekambuhan satu sampai dua kali per bulan Berdasarkan penghitungan statistic chi-square diperoleh p-value sebesar 0,001 (p<0,05) berarti secara statistik ada hubungan bermakna sebelum dan setelah mengikuti senam asma dengan frekuensi kekambuhan penyakit asma, sedang uji keeratan hubungan(coefficient contingency) sebesar 0,648 artinya ada hubungan kuat antara senam asma dengan frekuensi kekambuhan penyakit asma. Frekuensi kambuh pada responden yang mengikuti senam asma lebih jarang(1-2 kali/bulan) daripada yang tidak mengikuti senam asma(>4 kali/bulan). Berdasarkan penghitungan statistik diperoleh p-value sebesar 0,0001 (p<0,05) berarti ada hubungan bermakna antara frekuensi kambuh responden yang mengikuti senam asma dengan yang tidak mengikuti senam asma, sedang uji keeratan hubungan (coefficient contingency) sebesar 0,528 artinya keeratan hubungan pada tingkat sedang. Responden yang mengikuti senam asma secara teratur frekuensi kambuhnya lebih jarang, daripada responden yang tidak teratur mengikuti senam asma. Berdasarkan penghitungan statistic diperoleh p-value sebesar 0,037(p<0,05) berarti ada hubungan antara keteraturan mengikuti senam asma dengan frekuensi kekambuhan penyakit asma, sedang uji keeratan hubungan(coefficient contingency) sebesar 0,376 artinya ada hubungan pada tingkat rendah.
Pembahasan
Berdasarkan penelitian didapatkan ada hubungan bermakna antara keikutertaan senam asma dengan frekuensi kekambuhan penyakit asma (p–value =0,001), dengan tingkat hubungan sedang (C=0,528). Senam asma akan dapat meningkatkan kapasitas penyandang asma dalam melakukan kegiatan sehari-hari, yaitu: Pertama. Meningkatkan kemampuan pernafasan, Kedua, Meningkatkan efisiensi kerja otot-otot pernafasan, menambah aliran darah ke paru sehingga aliran darah yang teroksigenasi lebih banyak. Ketiga. , menyebabkan pernafasan lebih lambat dan efisien, mengurangi laju penurunan faal paru, dan memendekkkan waktu yang diperlukan untuk pemulihan. Kemampuan tersebut dapat dibuktikan dengan: Menaikkan toleransi terhadap latihan, Berkurangnya kekambuhan, Menurunnya depresi dan kecemasan, Perbaikan faal paru, dan Menurunnya resiko kematian sebelum waktunya. Berdasarkan penghitungan statistik didapatkan pula bahwa ada hubungan bermakna antara sebelum dan setelah mengikuti senam asma dengan frekuensi kekambuhan penyakit asma (p=0,001), dengan tingkat hubungan kuat (C=0,648). Terjadi penurunan frekuensi kekambuhan penyakit asma setelah responden mengikuti senam asma. Selain dapat menurunkan frekuensi kekambuhan, senam asma juga bermanfaat untuk: pertama, memperbaiki pola pernafasan (terutama jika terasa akan dating serangan). Latihan pernafasan pada penyandang asma yang utama adalah latihan nafas perut/diafragma, Kedua, latihan ralaksasi bertujuan mencapai keadaan relaks baik sewaktu serangan asma maupun di luar serangan. Bila penyandang asma telah terlatih melakukan teknik pernafasan akan banyak membantu menghilangkan rasa tegang (pada otot) dan panik (mental) karena penyandang asma telah mampu untuk tetap mengontrol nafasnya meskipun saat sesak. Rasa percaya diri yang timbul akan membuat lebih relaks dan selanjutnya akan berefek positif pula pada saluran nafas(bronkus) dimana ralaksasi juga terjadi, ketiga, latihan untuk memperbaiki postur tubuh dan keempat, latihan membuang secret tenggorokan.Didapatkan hasil ada hubungan yang bermakna antara keteraturan mengikuti senam asma dengan frekuensi kekambuhan penyakit asma (p=0,037), dengan tingkat hubungan rendah(C=0,376). Latihan (exercise) mempunyai hubungan timbal balik dengan respirasi. Bila seseorang melakukan senam asma yang teratur sehingga ia menjadi seseorang yang terlatih, maka akan  terjadi peningkatan efisiensi system pernafasan. Senam asma juga akan meningkatkan kerja otot termasuk otot pernafasan. Senam asma yang teratur akan meningkatkan kesegaran jasmani, yaitu kesanggupan tubuh melakukan penyesuaian terhadap beban fisik yang diberikan kepadanya berupa kerja yang dilakukan sehari-hari tidak menimbulkan kelelahan yang berlebihan. Karena kapasitas difusi orang yang terlatih lebih besar dari orang yang tidak terlatih. Perubahan system respirasi yang terjadi akibat latihan adalah: pertama,. Bertambahnya ventilasi semenit sebagai akibat bertambahnya volume tidal dan frekuensi nafas, kedua, terjadinya peningkatan efisiensi ventilasi, yaitu jumlah udara yang ikut berventilasi pada tingkat konsumsi O2 yang sama akan lebih rendah pada orang yang terlatih. Otot rangka yang aktif mendapat O2 lebih banyak dari otot pernafasan, dan ketiga, volume paru lebih besar pada orang yang terlatih.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa ada hubungan antara sebelum mengikuti senam asma dengan setelah mengikuti senam asma. Dengan menurunnya frekuensi kekambuhan dapat menurunkanangka absensi dan juga mengurangi biaya pengobatan, sehingga mampu meningkatkan produktivitas yang akhirnya meningkat pula sosial ekonomi rumah tangga.



DAFTAR PUSTAKA
Sidhartani MZ, 1991. Asma pada Anak. Dalam: Simposium terapi asma
bronchial. Surakarta: Perhimpuna Dokter Paru Indonesia, 1991: 13

Sundaru H, 1995. Asma, Apa dan Bagaimana Pengobatannya?. Edisi III.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1995.

Ngiam TE, 1993 Kedaruratan Pada Anak. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 1993.

Media Informasi Komunikasi RS. Telogorejo Semarang., 2000. Senam Asma
Ditinjau dari Sudut Pandang Rehabilitasi Medik. Majalah Pogress. Edisi

01 Semarang. Rumah Sakit Telogorejo.

PERAN PERAWAT DALAM PEMBERIAN OBAT PADA PASIEN JIWA

A. PERANAN PERAWAT DALAM MEMBERIKAN OBAT
Perawat mempunyai tanggung jawab dalam sampainya obat keada pasien dan digunakannya obat oleh pasien sehingga obat tersebut efektif dala membantu mengatasi masalah pasien. Secara terperinci peran perawat dalam penatalaksanaan obat di rmah sakit jiwa adalah :
1. Mengumpulkan data sebelum pengobatan
Dalam pelaksanaan peran ini perawat di dukung oleh latar belakang pengetahuan biologis dan perilaku. Data yang perlu dikumpulkan antara lainriwayat penyakit diagnosa medis riwayat engobatan hasil laboratorium jenis obat yang akan digunakan dan perawat perlu mengetahui program terapi lain bagi pasien. Pengumpulan data ini digunakan agar asuhan keperawatan yang diberikan bersifat menyeluruh dan merupakan satu kesatuan.
2. Mengkoordinasikan obat dengan terapi modalitas
Pemilihan terapi yang tepat sesuai dengan program pengobatan pasien akan memberikan hasil yang lebih baik.
3. Pendidikan Kesehatan
Pasien di rumah sakit jiwa sangat membutuhkan pendidikan kesehatan tentang obat yang diperolehnya karena pasien sering tidak mau minum obat yang dianggap tidak ada manfaatnya. Contoh pada klien curiga yang menganggap obat sebagai racun. Selain itu pendidikan kesehatan juga diperlukan keluarga karena adanya anggapan jika pasien sudah ulang kerumah maka tidak perlu lagi minum obat padahal hal ini menyebabkan risiko kanker kambuh dan dirawat kembali.
4. Memonitor efek samping obat
Selain efek yang diharapkan, perawat juga harus memonitor efek samping obat dan reaksi-reaksi lain yang kurang baik setelah minum obat.
B. PENATALAKSANAAN OBAT
Dalam membahas tentang penatalaksaan obat dibagi menjadi 2 yaitu pemberian obat langsung ke pasien dan pengelolaan atau penyimpanan obat di ruangan.
1. Pemberian obat ke pasien
a. Prinsip-prinsip peberian obat
Dalam membahas tentang prinsip peberian obat hal ini dibagi menjadi 3 yaitu persiaan peberian dan evaluasi.
1) Persiapan
Peratama erawat harus melihat obat apa yang akan di berikan. Kemudian mengkaji obat (tujuan peberian cara kerja efek samping dosis dan lainnya). Setelah itu elakukan persiapan yang berkaitan dengan pasien yaitu mengkaji riwayat pengobatan pasien, pengetahuan pasien dan kondisi sebelum pengobatan.
2) Pemberian
ada 6 tahap yang harus diperhatikan perawat dalam pemberian obat
- benar obat
- benar dosis
- benar pasien,
- benar waktu pemberian
- benar cara pemberian
- benar pendokumentasian
3) Evaluasi
Perawat bertanggung jawab untuk memonitor respon pasien terhada pengobatan. Untuk obat-obatan yang sering digunakan di rumah sakit jiwa efek samping biasanya terlihat sampai 1 jam setelah pemberian.
b. Metode pendekatan khusus dalam pemberian obat
Pemberian obat untuk pasien gangguan jiwa memerlukan pendekatan khusus sesuai dengan kasusnya seperti pada kasus pasien curiga pasien bunuh diri dan pasien yang ketergantungan obat.
1) Pendekatan khusus kepada pasien curiga
Pada pasien curiga tidak mudah percaya terhadap suatu tindakan atau pemberian yang diberikan padanya. Perawat harus meyakinkan bahwa tindakan treatment yang dilakukan ke pasien tidaklah berbahaya dan bermanfaat bagi pasien. Secara verbal dan non verbal, erawat harus dapat mengontrol perilakunya agar tidak menimbulkan keraguan pada diri pasien karena tindakan ragu-ragu dari perawat akan menimbulkan kecurigaan pasien.
Berikan obat dala bentuk dan kemasan yang sama setiap emberi obat agar pasien tidak bingung, ceas dan curiga. Jika ada perubahan dosis diskusikan terlebih dahulu keada pasien sebelum einta pasien untuk meminumnya. Yakinkan obat benar-benar diminum dan ditelan dengan cara meminta pasien membuka mulut dan gunakan spatel untuk melihat aakah obat disebunyikan. Hal ini terutaa pada pasien yang mempunyai riwayat menyembunyikan obat di bawah lidah dan membuangnya. Untuk pasien yang benar-benar menolak minum obat walaupun sudah dilakukan pendekatan aka emberian obat dilakukan melalui injeksi sesuai dengan instruktur dokter dengan memperhatikan aspek legal dan hak pasien untuk menolak pengobatan dalam keadaan darurat.
2) Pendekatan khusus kepada pasien yang potensial bunuh diri.
Pada pasien bunuh diri masalah yang sering timbul adalah penolakan pasien untuk minum obat dengan maksud pasien untuk merusak dirinya. Perawat harus bersikap tegas dala pengawasan pasien untuk minum obat karena pasien pada tahap ini berada dalam fase ambivalen antara keinginan hidup dan mati. Perawat menggunakan kesempatan treatment pada saat pasien memunyai keinginan hidup, agar keraguan pasien untuk mengakhiri hidupnya berkurang karena pasien merasa diperhatikan. 
Perhatian erawat erupakan stimulus penting bagi pasien untuk meningkatkan motivasi hidup. Dala hal ini peran erawat dalam memberikan obat diintegrasikan dengan pendekatan keperawatan diantaranya untuk meningkatkan harga diri pasien.
3) Pendekatan khusus pada pasien ketergantungan obat
Pada pasien yang mengalai ketegantungan obat biasanya menganggap bahwa obat adalah segala-galanya dalam menyelesaikan masalah. Sehingga perawat perlu memberikan penjelasan kepada pasien tentang manfaat obat dan obat bukanlah satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah. Terapi obat harus disesuaikan dengan terapi modalitas lainnya seperti penjelasan cara-cara elewati proses kehilangan.
c. Pendidikan Kesehatan
Secara moral erawat bertanggung jawab memberikan pendidikan kesehatan pada pasien dan keluarga. Pendidikan kesehatan yang perlu diberikan mencakup informasi tentang penyakit kemajuan pasien, obat, cara merawat pasien. Pendidikan kesehatan yang berkaitan dengan peberian obat yaitu informasi tentang obat efek samping cara minum obat waktu dan dosis.
2. Pengelolaan obat di ruangan
Ditinjau dari aspek legal pengelolaan obat di ruangan juga merupakan tanggung jawab perawat. Obat-obatan harus tersimpan dalam lemari terkunci. Kunci lemari dipegang kepala ruang atau erawat yang bertanggung jawab untuk memberikan obat. Obat-obatan harus diberi label dan ditempatkan secara terpisah enurut nama dan keasannya. Dan tiap pasien mempunyai tempat sendiri. Untuk obat-obatan golongan narkotika harus ditempatkan pada suatu tempat khusus dan diberi nama dengan jelas. Jumlah obat harus dihitung dan dilaporkan saat pergantian dinas.


Sunday, June 2, 2013

JURNAL KEPERAWATAN : Time out is just another way to say communicate